menyambut ACFTA: Indonesia masih butuh proteksi?

Dengan mulai berlakunya ACFTA (ada juga yang sering bilang CAFTA/china asean free trade agreement) maka dimulailah era perdagangan bebas Indonesia. setidaknya di kawasan asia. Dengan perdagangan bebas maka hanya mereka yang paling efisien, yang bisa membuat produk paling bagus dan murah yang akan bisa bertahan. Jadi akan terjadi redistribusi pekerjaan, masing-masing negara akan dipaksa mengerjakan apa yang menjadi keunggulannya. Bagi negara berkembang macam Indonesia, dengan SDM, infrastruktur dan modal pas-pasan, apa keunggulannya? Keunggulannya hanyalah (1)sumberdaya alam yang masih lumayan, walau sudah banyak dijarah dan dirusak, (2)penduduk yang banyak. Artinya apa? Artinya bagian pekerjaan bagi Indonesia adalah menyediakan pasokan bahan mentah dan tenaga kerja murah.

Tenaga kerja banyak tapi tidak berkualitas. Artinya bagian pekerjaan bagi Indonesia adalah pekerjaan-pekerjaan yang dibayar murah, pekerjaan yang sederhana, kasar, kotor dan mungkin berbahaya. Dibayar murah artinya Indonesia akan mendapat porsi pendapatan yang kecil. Dengan terjadinya redistribusi pekerjaan maka menyusul redistribusi pendapatan, kemudian redistribusi kekayaan.

Jadi dengan perdagangan bebas mungkin total pendapatan semua negara akan bertambah, demikian juga kekayaannya. Tetapi pembagiannya tidak merata ; negara berkemabang macam Indonesia justru akan mendapat bagian lebih kecil daripada sebelum ada perdaganagan bebas. Negara yang lebih majulah yang akan mendapat keuntungan terbesar. Mereka menikmati tenaga kerja dan bahan baku murah, tapi nilai tambahnya sebagian besar mereka raup sendiri.

Tidak ada jalan lain bagi negara yang mempunyai sumberdaya manusia yang belum bisa bersaing dan infrastruktur yang belum begitu baik, seperti Indonesia, maka pasar dalam negeri harus diproteksi. (kecuali untuk jenis bahan dasar yang tidak bisa dihasilkan atau tidak dikandung oleh alam negeri ini). Berbagai hambatan perdagangan, baik hambatan tarif maupun non-tarif, harus dipasang untuk melindungi produsen di dalam negeri. Kalau ini tidak dilakukan maka pasar kita akan direbut, sehingga kapasitas produksi tidak akan berkembang malah akan makin mengkerut; akibatnya kemampuan mesin ekonomi kita untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat akan melemah; akibat selanjutnya negara kita akan lemah dan tergantung kepada bangsa lain.

Tentu saja kebijaksanaan proteksionistik tersebut akan mengundang tindakan balasan dari negara lain. Mereka juga akan menghambat ekspor kita. Mau tidak mau kita harus menghadapi realitas bahwa ada harga yang harus dibayar untuk mengambil suatu keputusan yang berani, tepat dan terukur.

Tetapi untungnya kita mempunyai pasar yang sangat besar dan sumberdaya alam yang masih melimpah, walaupun juga sudah banyak dirusak dan dijarah. Barang-barang ekspor yang dihambat masuk sedapat mungkin dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Kalaupun masih ada kelebihan produksi maka terpaksa produksi barang-barang tersebut dihentikan, dan faktor-faktor produksinya dialihkan ke sektor-sektor lain untuk memproduksi barang-barang lain yang masih dibutuhkan rakyat.

Bagaimana dengan barang dan jasa yang masih belum mampu kita produksi sendiri? Atau, kalau pun kita sudah bisa memproduksinya, itu tidak sebaik produksi negara-negara lain? Dengan menarik investasi asing. Tetapi bagaimana mereka mau berinvestasi di sini?

Memang kita harus terus menambah daya saing dengan memperbaiki kemudahan berusaha dan berinvestasi di negeri ini. Infrastruktur harus terus ditingkatkan, birokrasi dan perijinan diefisienkan, adanya kepastian hukum, sistem perpajakan yang tepat dan adil, tenaga kerja yang makin berkualitas, dsb. Dengan demikian Indonesia akan menjadi salah satu tempat usaha yang paling menguntungkan. Tetapi kita tidak boleh tepaku kepada hal-hal itu saja. Di samping semua yang disebutkan itu kita harus juga memanfaatkan satu keunggulan yang sudah kita miliki yaitu pasar kita yang besar. Adanya pasar yang besar itu saja sudah merupakan faktor yang menarik investor dari luar negeri.

Dengan memproteksi pasar kita maka satu-satunya jalan yang mungkin bagi mereka untuk menjual produknya di sini adalah dengan memproduksinya di dalam negeri. Mereka harus berinvestasi di sini kalau mareka mau menjual produknya di pasar kita. Dan karena pasar kita dilindungi maka investasi mereka pasti akan menguntungkan, sekalipun biaya produksi mereka di sini lebih tinggi daripada di tempat-tempat lain. Kita pun, dengan adanya investasi tersebut akan diuntungkan karena ia akan membuka banyak lapangan kerja dan membuka kesempatan bagi bangsa kita untuk belajar.

Dan jika para pengusaha luar negeri tersebut membuka usahanya di sini, tenaga kerja asing yang digunakan harus dihambat masuk dan dibatasi seminimal mungkin. Dengan pembatasan tersebut mereka didorong untuk mendidik tenaga kerja kita dan melakukan alih teknologi, sehingga barang-barang tersebut dapat diproduksi sepenuhnya di Indonesia. Ini adalah konsep kerjasama yang adil dan saling menguntungkan. Mereka memperoleh keuntungan karena mendapatkan akses ke pasar kita dan sekaligus proteksi bagi produk mereka, kitapun diuntungkan karena kapasitas produksi kita bertambah, dengan demikian tenaga kerja diserap dan pendapatan nasional bertambah.

Industri sepeda motor merupakan contoh yang baik. Bangsa kita mulanya belum mampu membuat sepeda motor tetapi sekarang sepeda motor telah diproduksi di negara kita sendiri. Pasar kita yang sangat besar sangat menguntungkan bagi para produsen luar negeri. Dan dengan itu mereka bersedia menanamkan modalnya untuk membangun pabrik sepeda motor di Indonesia., dan menjualnya di pasar kita yang sangat besar. Tetapi sayangnya belum semua komponen dibuat di Indonesia. Karena mereka boleh menjual produknya di pasar kita seharusnya semua komponen diproduksi di sini, oleh tenaga kerja kita, ini baru adil. Oleh karena itu mereka harus didorong untuk segera melakukan semua itu. Caranya dengan mengenakan hambatan tarif yang tinggi terhadap komponen-komponen yang masih diimpor dan mewajibkan mereka untuk mendidik tenaga kerja kita dan melakukan alih teknologi. Pengarang berpendapat bahwa dalam hal ini kita mempunyai posisi tawar yang cukup kuat berhubung dengan adanya pasar yang besar tersebut.

Penulis ingin mengajukan contoh soal lain, yaitu indusri susu.pengolahan susu. Industri pengolahan susu asing juga memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan pasar kita yang sangat besar. Tetapi mengapa susu sapi impor tidak dikenakan hambatan yang cukup. Jelas, karena berbagai hal, susu sapi perah kita tidak bisa bersaing harga dengan produsen luar negeri. Kalau susu sapi impor sebagai bahan baku indusri pengolahan susu (IPS) dibiarkan masuk dengan leluasa maka industri susu sapi perah yang merupakan usaha rakyat kecil tidak bisa berkembang. Di samping itu kita tidak akan pernah bisa berswasembada dan selalu tergantung kepada produk negara lain, padahal susu merupakan salah satu produk primer yang sangat penting; karenanya kita harus bisa swasembada.

Mungkin ada yang menyanggah bahwa susu sapi impor yang murah akan mengurangi biaya produksi IPS sehingga harga susu bubuk juga akan murah dan terjangkau oleh rakyat. Dalam hal ini solusinya adalah kita harus menyisihkan dana untuk memberikan subsidi, dalam berbagai bentuknya, kepada para pengusaha sapi perah sehingga harga produk mereka bisa bersaing dengan susu impor. Dengan kebijakan ini di samping tersedia susu murah yang menyehatkan bagi anak-anak kita, kita bisa berswasembada dan mengurangi ketergantungan kita kepada negara lain; dan banyak orang akan terserap bekerja di industri susu perah ini yang artinya adanya peningkatan pendapatan nasional.

Juga berkenaan dengan masuknya barang-barang yang harganya sangat murah dari Tiongkok, mulai dari elektronik, tekstil, pakaian, sepatu dan berbagai jenis barang konsumsi lain; kalau pemerintah tidak memproteksi pasar kita terhadap serbuan semacam itu maka industri kita akan disapu bersih; kemampuan produksi kita digerogoti, lapangan kerja berkurang karena pekerjaan tersebut diambil oleh pekerja di Tiongkok. Dan pada akhirnya pendapatan nasional akan berkurang. Sekali lagi pasar kita harus diproteksi dari barang impor dan investasi dari negara lain harus ditarik masuk.

Salah satu tujuan utama proteksi pasar dalam negeri adalah agar tenaga kerja kita memperoleh pekerjaan yang baik, agar lapangan kerja tidak direbut oleh tenaga kerja di luar negeri. Jika negeri kita dibanjiri barang-barang impor karena barang produksi kita tidak bisa bersaing maka artinya pekerjaan untuk memproduksi barang tersebut diambil oleh tenaga kerja dari negara asing tersebut. Jika semakin banyak barang kebutuhan kita diproduksi di dalam negeri berarti semakin banyak lapangan kerja tersedia bagi tenaga kerja kita; dan semakin banyak pekerjaan yang dikerjakan akan membuat bangsa kita semakin trampil dan semakin mampu bersaing dengan tenaga kerja negara-negara lain.

Mungkin ada pihak yang berpikir bahwa kebijakan proteksionistis seperti itu akan membuat pihak konsumen dirugikan. Masyarakat harus membeli barang yang kualitasnya lebih rendah, tetapi dengan harga yang lebih mahal, dibandingkan dengan produk-produk impor. Tetapi kita harus ingat bahwa konsumen di sisi lain adalah merupakan produsen atau pemasok faktor-faktor produksi (tenaga kerja, keahlian, barang modal, properti, dana, dll) bagi produsen barang dan jasa yang mereka beli. Produsenlah yang memberikan pendapatan kepada mereka dengan membeli faktor-faktor produksi yang mereka miliki, dengan membayar gaji, upah, jasa, sewa, bunga, dsb. Jika konsumen tidak mau membeli barang produksi dalam negeri maka produsen dalam negeri akan menutup usahanya; akibatnya para pekerja akan kehilangan pendapatan, pengusaha kehilangan keuntungan, pemilik barang modal kehilangan uang sewa, pemasok kehilangan penghasilan. Dan mereka yang kehilangan sumber pendapatan itu dan keluarganya, mereka itulah yang merupakan konsumen itu sendiri. Jadi jika rakyat mau membeli produk dalam negeri, rakyat sendirilah yang diuntungkan.

Berdasarkan berbagai paparan dan argumen di atas maka maka menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah kebijakan memberlakukan ACFTA ini di masa sekarang adalah sebuah pilihan bijak??. Saat ini kualitas sumberdaya manusia dan infrastruktur kita masih kalah bersaing dengan sebagian negara-negara di ASEAN. Jika AFTA berlaku maka pasar kita yang besar akan dimanfaatkan oleh negara-negara tersebut; para produsen kita terpuruk dan lapangan kerja bagi tenaga kerja kita akan direbut oleh tenaga kerja negara lain yang lebih berkualitas. Lebih baik kita tingkatkan dulu infrastruktur dan sumberdaya manusia kita, setelah kita siap barulah kita berani masuk ke zona perdagangan bebas.

Kebijakan untuk melindungi pasar dalam negeri bukan berarti mengisolasi diri dan menutup pasar kita sama sekali. Itu tidak mungkin karena kita pasti membutuhkan banyak barang dan jasa dari luar yang belum atau tidak dapat kita produksi sendiri. Untuk itu kita membutuhkan devisa atau mata uang global yang bisa kita dapatkan dengan menjual barang dan jasa yang dibutuhkan oleh negara-negara lain. Kebijakan proteksionistik yang dijalankan secara low profile, hati-hati, cerdik dan bijaksana masih diperlukan bagi bangsa kita untuk membangun dan memanfaatkan kapasitas produksi. Dan target pertama dan utama kita dalam menlalankan kebijakan proteksionistik sepeti ini adalah mencapai swasembada, terutama swasembada barang-barang kebutuhan dasar.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Ekonomi-Pasar Neoliberal dan Ekonomi-Pasar Terpimpin

Sistem ekonomi komunis gagal karena mengabaikan kekuatan pasar. Sebaliknya sistem ekonomi yang disebut kapitalis-liberalisme, termasuk neoliberalisme, yaitu bentuk ekonomi liberal yang telah direvisi, menganggap pasar adalah pemimpin yang tidak akan pernah salah sehingga harus diikuti kemauannya kemanapun dia pergi. Dalam prakteknya paham ini berusaha membatasi peranan dan campur tangan pemerintah dalam proses pasar sampai seminimal mungkin.

Memang sistem ekonomi liberal-klasik adalah sistem yang sangat individualistis-egois. Ia sangat menganjurkan pemusatan kekuatan ekonomi (modal) di tangan sesedikit mungkin orang (kapitalisme); ia mendukung adanya monopoli; ia menerapkan teori Darwin mengenai ‘seleksi alam’ hanya yang kuat dan unggul yang boleh hidup; ia mendukung kompetisi pasar bebas yang sepenuhnya bebas dari campur tangan pemerintah, sehingga penentuan harga dan distribusi pendapatan sepenuhnya ditentukan oleh pasokan dan permintaan. Ia percaya bahwa pasar itu diatur oleh ‘tangan-tangan tersembunyi’ (invisible hands) yang tidak mungkin salah yang pasti pada akhirnya akan membawa kemakmuran maksimal kepada masyarakat. Tetapi paham liberalisme-lama ini telah tamat, pada masa sekarang tidak ada negara atau ekonom yang menganut paham ini lagi.

Sebab dari gagalnya paham ini sebenarnya telah diulas di atas yaitu sistem ini tidak memperhitungkan kelemahan mendasar dari watak manusia. Produksi dari mesin perekonomian ditentukan oleh demand dari pasar. Demand berasal dari kebutuhan dan keinginan manusia. Manusia tidak hanya meminta hal-hal yang dibutuhkan tetapi juga hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkannya; manusia tidak hanya mengiginkan hal-hal yang bermanfaat tetapi juga hal-hal yang mudarat. Lebih daripada itu sifat serakah manusia, ditambah dengan perbedaan-perbedaan keadaan antara satu dengan yang lainnya, menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan yang sangat luar biasa sehingga mengakibatkan banyak penderitaan manusia. Di satu pihak ada golongan pemilik modak yang makin kaya, di lain pihak ada golongan buruh yang diperas dan dieksplitasi habis-habisan. Sistem persaingan bebas yang tidak dikendalikan ini mengakibatkan para pemilik modal menjadi semakin kaya dengan menentukan harga yang tidak adil. Karena adanya monopoli mereka dapat menjual dengan harga setinggi mungkin, dan sekaligus mereka membeli faktor-faktor produksi dengan harga serendah-rendahnya, termasuk harga atau upah buruh. Karena semua yang dijelaskan itu maka ‘tangan-tangan yang tersembunyi’ yang ada di dalam pasar bebas tidak membawa kemakmuran melainkan kekacauan belaka.

Setelah mengalami kegagalan, ekonomi liberal ini mengalami revisi besar-besaran, dan bentuknya yang baru dinamakan neoliberalisme. Teoritikus utama aliran ini adalah Prof. Dr. Röpke. Röpke adalah seorang Jerman. Ia dilahirkan pada tahun 1899. Sebagai mahasiswa ia amat terpesona dalam masa mudanya oleh pandangan kenegaraan dan ekonomi yang kolektivistis. Tetapi dikemudian hari ia melepaskan pandangan ini karena ia menyadari betapa hebatnya pengekangan dari negara kolektivistis, yang berbentuk nasionalis-sosialistis atau komunistis terhadap kebebasan manusia. Ia menyebut negara kolektivistis sebagai “Leviathan” yaitu momok raksasa yang berbahaya. Oleh karena pandangannya ini ia bertentangan dengan Hitler, yag kemudian mengusirnya dari Jerman. Dari tahun 1933-1937 ia menjadi guru besar di Istambul. Kemudian dari situ ia menjadi guru besar di Jenewa pada “Institute Universitaire d’Haute Studes Internationales”.

Di samping menentang paham ekonomi kolektivistis atau komunistis, di mana negaralah yang menguasai semua alat produksi atau modal, dimana negaralah yang menentukan apa yang diproduksi, berapa banyak dan berapa harganya, bukannya pasar; Röpke sangat menaruh keberatan terhadap kapitalisme-liberal yang lama. Dalam pandangannya Liberalisme yang lama itu tidak mengenal keadilan sosial. Ia menciptakan kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan tertentu untuk memperkaya diri secara monopolistis; ia menganjurkan suatu politik kepentingan diri sendiri yang kejam;ia mengakibatkan kedudukan buruh menjadi tak sesuai lagi dengan martabat manusia.

Jadi kemudian Röpke menganjurkan suatu jalan tengah. Yaitu ekonomi pasar dalam bentuknya yang sehat, alih-alih dalam bentuknya yang bejat yaitu ekonomi liberal-kapitalistis; yaitu suatu “liberalisme yang konstruktif-revisionistis”.

Di Jerman Barat, yang membangun ekonominya sesudah perang sesuai dengan teori Röpke ini dengan mencapai sukses yang gilang gemilang, teori dan praktek ini disebut ekonomi pasar-sosial.

Teori ekonomi ini dengan radikal mengoreksi dosa-dosa dari kapitalisme-liberal-lama itu, tetapi tetap mempertahankan apa yang dianggap berharga dalam sistem lama itu. Dengan itu Röpke menganjurkan adanya pasar bebas dan persaingan bebas, sehingga harga barang-barang ditentukan oleh penilaian konsumen. Tetapi dalam persaingan bebas itu negara juga bertindak sebagai wasit, ketimbang hanya sebagai polisi seperti pada sistem lama. Dan dalam mengatur kebebasan ini diperlukan penegakkan hukum, perundangan yang sehat dan peradilan yang bersih, disamping juga kebijakan dan praktek moneter yang bersih dan terpecaya.

Sesungguhnya banyak sekali revisi yang dilakukan dalam teori Röpke ini. Misalnya dia mendukung adanya sebanyak-banyaknya perusahaan kecil dan menengah; memberantas monopoli, seperti kartel dan trust; pajak yang progresif sehingga terjadi distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih merata; penguatan kedudukan konsumen melalui edukasi dan adanya organisasi-organisasi konsumen dan koperasi; pemerataan pembangunan, sehingga tidak terjadi konsentrasi pembangunan hanya di kota-kota besar tetapi juga di kota-kota kecil dan desa-desa; pemberian kredit, edukasi dan bantuan teknis kepada petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil; usaha-usaha supaya pekerja-pekerja upahan, bahkan setiap orang, juga dapat memiliki rumah dan tanah, bahkan perusahaan kecil miliknya sendiri;dsb.

Teori neoklasik mendukung persaingan bebas tetapi persaingan yang lebih adil daripada teori liberal-klasik. Dan walaupun sama-sama menganjurkan persaingan bebas, teori neoklasik juga menganjurkan peran pemerintah untuk memberdayakan yang lemah sehingga ia bisa bersaing dan bisa hidup.

Dari uraian di atas kita melihat betapa radikalnya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh neoliberalisme lama dari Röpke, terhadap liberalisme-lama yang dianut oleh Adam Smith, Bentham, Ricardo, dll. Dalam liberalisme-lama negara sama sekali tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi, melainkan hanya sebagai polisi yang menjaga hak milik perorangan dan terhadap musuh dari luar. Neoliberalisme mengakui tugas dan kewajiban negara yang lebih luas dalam kehidupan ekonomi dengan berbagai macam jalan. Ini merupakan suatu langkah maju yang sangat besar.

Melihat banyaknya hal-hal baik yang dianjurkan oleh neoliberalisme adalah tidak adil benar jika memandang paham neolib ini sebagai sesuatu yang sepenuhnya negatif. Apalagi jika kita melihat perkembangan ekonomi Jerman Barat sesudah perang. Betapa hebatnya kemajuan ekonomi Jerman Barat hingga dia dapat menjadi suatu welfare state , yaitu negara dengan tingkat kesejahteraan sosial yang sangat tinggi.

Namun memang ada berbagai keberatan, karena paham ini kemudian banyak mengalami kegagalan dan malapetaka di negara-negara lain, terutama di negara-negara berkembang. Bahkan di negara-negara maju pun banyak yang menentang paham ini. Dan keberatan lain adalah adanya pandangan yang terlalu optimis tentang manusia. Sama seperti liberalisme-lama paham neoliberalisme tidak memperhitungkan sifat manusia yang pada dasarnya serakah dan egois. Dan sifat manusia seperti inilah yang menyebabkan kita tidak boleh terlalu percaya kepada proses pasar. Jadi pasar haruslah dikendalikan, tidak boleh dibiarkan lepas begitu saja.

Kaum neoliberal menentang campur tangan pemerintah atas proses pasar; mereka berkehendak untuk membiarkan pasar berjalan dengan sebebas-bebasnya. Tentu saja mereka pada akhirnya tersandung juga karena pada dasarnya pasar diarahkan oleh bukan saja keinginan-kebutuhan tetapi juga keinginan-nafsu manusiawi; sedangkan keinginan-nafsu itu pada dasarnya bersifat merusak, dan manusia itu sendiri cenderung serakah dan egois. Jadi titik kesalahan kaum liberal (baik liberal-lama maupun neoliberal) adalah pada asumsi mereka bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Asumsi ini juga dipakai oleh kaum komunis-marxis. Jika saja asumsi ini benar tentu baik sistem komunis maupun liberal akan berhasil dalam mencapai kemakmuran yang sesungguhnya. Kenyataannya kedua sistem itu justru banyak membawa akibat buruk pada bangsa-bangsa di dunia, yaitu kerusakan lingkungan, kemiskinan dan penderitaan.

Paradoksnya adalah, kalau manusia itu pada dasarnya baik, sebagaimana asumsi kaum neolib, tentu paham neolib ini akan mengalami sukses besar dimana-mana. Justru karena manusia itu egois dan serakah maka paham ini mengalami kegagalan dimana-mana. Jadi yang salah paham neoliberalisme itu sendiri, atau manusia yang menjadi operator bagi sistem itu?

Sifat manusia yang telah rusak perlu dikendalikan. Pengendalinya adalah otoritas atau pemerintahan. Tanpa pemerintahan pasti terjadi anarki. Bayangkan sendainya saja di Jakarta ada hari libur bagi otoritas selama 3 hari; selama 3 hari hukum tidak berlaku lagi, setiap orang boleh berbuat apa saja tanpa takut terkena hukuman dan konsekuensi apapun. Pasti Jakarta akan sudah menjadi abu! Akan ada kekejian dan kebuasan yang luar bisa, seakan-akan semua setan dari neraka menyerbu ke sini.

Adanya pemerintahan membuat semua kejahatan manusia tetap terkendali. Demikian juga dalam lapangan ekonomi, jika di situ ada persaingan bebas, selain memunculkan kreativitas dan kekuatannya, manusia juga akan memanifestasikan keserakahan dan kebuasannya. Dan sejarah sudah membuktikan betapa paham liberalisme-klasik yang menganjurkan persaingan yang sebebas-bebasnya menyebabkan terjadinya pemerasan, penindasan dan ketidakadilan yang luar biasa, yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Demikian juga neoliberalisme, dengan segala kebaikannya, masih menganjurkan adanya persaingan bebas dengan maksud supaya segala potensi daya kreativutas manusia bisa diwujudkan, agar terwujud kemakmuran sebesar-besarnya bagi semua orang.

Bagaimanapun kesalahan asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya baik, sehingga mereka harus diberikan kebebasan yang sebesar-besarnya, melalui mekanisme pasar-bebas, telah membuat paham neolib ini sudah cacad semenjak dilahirkan. Dan yang sebaiknya kita lakukan dengan sistem ini adalah merevisinya; dengan menghilangkan yang buruk dan mempertahankan yang baik.

Memang persaingan itu baik karena akan memberikan motivasi dan semangat kepada manusia untuk berupaya dengan semaksimal mungkin. “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya”, tanpa persaingan manusia menjadi malas dan tidak termotivasi. Kita bisa melihat bahwa tanpa persaingan para olahragawan tidak akan sekuat, secepat, setangkas dan setrampil seperti yang mereka tunjukkan pada masa sekarang ini. Tetapi, seperti dalam dunia olah raga, persaingan harus dikendalikan dan diarahkan dengan adanya aturan-aturan main yang harus ditaati oleh semua pemain, tidak boleh dibiarkan lepas bebas begitu saja.

Dalam persaingan pasti ada pihak-pihak yang kalah dan yang menang. Adalah alamiah bahwa ada berbagai perbedaan di antara manusia : ada yang rajin ada yang malas, ada yang kuat ada yang lemah, ada yang pintar ada yang kurang pintar, ada yang beruntung ada yang kurang beruntung, dsb; sehingga ada yang mengumpulkan terlalu banyak ada pula yang mengumpulkan terlalu sedikit. Namun kesenjangan tidak boleh dibiarkan menjadi terlalu lebar, supaya “yang mengumpulkan terlalu sedikit tidak berkekurangan dan yang mengumpulkan terlalu banyak tidak berkelebihan”. Pemerintah atau otoritas mempunyai kewajiban untuk melakukan hal tersebut.

Dan sistem ekonomi pasar yang digerakkan oleh persaingan yang dikendalikan dan diarahkan oleh pemerintah dinamakan sistem ekonomi pasar terpimpin. Dalam sistem ini ekonomi berjalan menurut proses pasar, tetapi tidak dibiarkan berjalan bebas melainkan dipimpin oleh pemerintah agar tetap berjalan di jalan yang benar. Pasar harus dikendalikan agar alokasi sumberdaya ekonomi tidak terlalu dikendalikan oleh hawa nafsu keinginan manusia, tetapi agar sumberdaya ekonomi digunakan untuk hal-hal yang memang dibutuhkan oleh manusia. Di samping itu tujuan pengendalian pasar ini adalah untuk mendorong distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih merata dan adil.

Salah satu pokok penting dari tulisan di atas adalah bahwa kekuatan pasar harus dimanfaatkan dan diarahkan secara bijaksana, seperti menunggangi seekor kuda; bukan untuk diikuti begitu saja seperti mengikuti seorang pemimpin. Regulasi dan pajak adalah alat kekang yang utama yang digunakan oleh pemerintah untuk memimpin pasar ke jalan yang benar. Inilah yang disebut sistem ekonomi-pasar terpimpin ( led market-based economy).

Kesimpulannya, (1) paham ekonomi kapitalis-liberal atau liberal-lama atau liberal-klasik menganjurkan ekonomi pasar di mana terjadi persaingan bebas tanpa campur tangan pemerintah sama sekali; (2) paham neoklasik atau neoliberal menganjurkan ekonomi pasar dimana ada persaingan yang bebas tetapi sehat dan adil dengan pemerintah sebagai wasit; (3) paham ekonomi pasar terpimpin menganjurkan ekonomi pasar, dimana terjadi persaingan, tetapi disini ada peran pemerintah yang mengendalikan arah persaingan tersebut, melalui sarana regulasi, fiskal dan perpajakan, dan dengan cara masuk ke pasar melalui berbagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

ketidak dewasaan lembaga legislatif kita

Kita memilih wakil rakyat untuk duduk di kursi legislatif tentunya dengan suatu asumsi bahwa mereka memiliki kompetensi yang lebih dari kita yang tentunya akan bisa membimbing mereka untuk bersikap lebih beradab.

Hampir bisa dipastikan bahwa dalam lubuk hati setiap masyarakat Indonesia, selalu mengharapkan keadaan lembaga legislatif yang baik, yang mampu mengakomodasi seluruh aspirasi masyarakat demi terciptanya Indonesia yang lebih baik.

Namun, harapan masyarakat Indonesia untuk mendapatkan lembaga legislatif yang baik nampaknya masih sangat jauh dari kenyataan. Realita menunjukkan bahwa semakin hari keadaan lembaga legislatif kita tidak juga cenderung membaik.

Bukan keadaan ruangan atau gedung lembaga legislatif nya yang tidak baik, melainkan orang-orang yang duduk didalamnya yang membuatnya nampak buruk. Mungkin ada yang berkata bahwa ini hanyalah pekerjaan oknum-oknum tertentu. Namun perlu diingat bahwa sikap anggota dewan seperti itulah yang mencoreng keseluruhan lembaga legislatif. Seperti kata pepatah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Ketidakdewasaan

Sebagian (besar) anggota lembaga legislatif hingga sekarang masih saja memiliki ketidakdewasaan dalam bersikap. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa lembaga legislatif seringkali dicap buruk oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Ketidakdewasaan sikap itu tercermin dari perilaku mereka selama mereka menjabat menjadi wakil rakyat. Korupsi, misalnya, menjadi contoh nyata bagaimana sikap mereka yang tidak cenderung dewasa ketika dengan sadar mencuri uang rakyat demi keuntungan pribadi semata. Seandainya mereka sudah dewasa, tentunya mereka bisa menilai bukan hanya dari kacamata pribadi, melainkan dari kacamata nurani mengenai baik atau buruknya korupsi.

Contoh lainnya yang bisa menjadi catatan penting betapa anggota lembaga legislatif kita cenderung tidak dewasa adalah perilaku bolos dan telat ketika hendak diadakan rapat. Hal ini nyata terjadi pada tanggal 14 September 2009 ketika DPR pada akhirnya harus menunda pelaksanaan pengesahan terhadap RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Narkotika, RUU tentang Penetapan Perppu Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan RUU tentang Keimigrasian selama kurang lebih 90 menit karena anggota yang hadir tidak mencapai kuorum.

Apakah mereka tidak menyadari tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang wakil rakyat yang terpilih? Rakyat Indonesia membayar mereka dengan harapan bisa membawa negara ini berjalan ke arah yang lebih baik. Namun, bagaimana mungkin membawa bangsa Indonesia ini ke arah yang lebih baik jika ketika ingin merumuskannya saja mereka tidak ada?

Catatan penting lainnya terjadi baru-baru ini juga ketika pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk menarik draf RUU Rahasia Negara. Rapat kerja yang diadakan oleh Komisi I DPR dengan pihak pemerintah hampir saja berujung pada adu jotos seperti yang dilansir Kompas.com tertanggal 16 September 2009. Uniknya, ketegangan ini terjadi bukan antara pihak anggota legislatif dan pemerintah, namun terjadi di kubu legislatif sendiri. Masalahnya sepele yakni karena adanya sikap saling sindir yang dinilai telah mengonfrontir timbulnya sikap berang salah satu pihak.

Seseorang yang sudah dewasa tentunya memiliki pengendalian emosi yang baik. Tidak harus ketika ia merasa disindir, lantas menjadi marah dan menantang untuk menyelesaikan dengan cara adu jotos. Pengendalian emosi yang baik dan melawan sindiran dengan pemikiran yang lebih kritis dan meyakinkan tentunya akan lebih menunjukkan kedewasaan sikapnya sebagai seorang manusia.

Masalah moral

Lantas, dengan ketidakdewasaan sikap yang dimiliki oleh anggota dewan, apa yang seyogianya diperbaiki?

Masalah moral tentu menjadi PR besar yang harus diselesaikan demi memberangus ketidakdewasaan sikap anggota dewan. Perbaikan moral dapat dilakukan melalui etika.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Berangkat dari pengertian ini, maka dapat terlihat dengan jelas pentingnya untuk mempelajari dan memahami etika serta mengaplikasikannya. Dengan begitu diharapkan anggota lembaga legislatif lebih mampu untuk menilai mana yang baik dan buruk, mana yang hak dan mana yang kewajiban mereka.

Namun penulis yakin bahwa setiap anggota lembaga legislatif pasti pernah mendapatkan etika melalui pelajaran sewaktu dia bersekolah atau melalui pergaulannya sehari-hari. Hanya saja, pengaplikasiannya masih sangat minim sebab terbentur banyak kepentingan dan tertutupnya hati nurani. Oleh sebab itu, penajaman hati nurani juga menjadi hal yang substansial.

Beretika dan memiliki hati nurani yang tajam tentunya dapat dilakukan -secara dominan- melalui diri sendiri. Semoga untuk ke depannya, anggota lembaga legislatif terpilih mau untuk mengaplikasikan etika dengan sungguh-sungguh serta memiliki hati nurani yang tajam. Ini semua demi bangkitnya citra positif lembaga legislatif Indonesia di mata rakyatnya sendiri.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

PERGUB no 28 th.2010 dan Disorientasi Arah Pembangunan Hari Ini

Saya ingin menulis tulisan ini, dengan berangkat dari kenyataan bahwa bangsa kita hari ini berada dalam sebuah kondisi yang mandeg. Di mana-mana pembangunan bangsa ini mengalami stganasi.  Dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, budaya, politik, bangsa ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sangat rumit memang untuk mengurai benang kusut pemasalahan bangsa hari ini. Karena masalah bangsa kita hari ini telah menjadi sebuah jaring laba-laba sistemik yang saling terkait satu sama lain. Permasalahan kesehatan akan terkait dengan pendidikan, permasalahan ekonomi, permasalahan, politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai sistemik krisis bangsa ini, kita perlu sebuah arahan dan prioritas pembangunan yang realistis dan terukur.  dan bagi penulis, membangun kualitas sumber daya manusia rakyat Indonesia hari ini adalah satu-satunya jalan bagi angsa ini untuk keluar dari keterbelakangn dan ketertinggalan.

Jika kita berbicara tentang pembagunan kualitas sumber daya manusia bangsa ini, maka kita akan berbicara tentang kualitas pendidikan dan kesehatan bangsa kita. Karena itu, di tengah segala kekurangan dan kelemahan Negara kita hari ini (lemah dalam kekuatan modal finansial, kualitas SDM, pernagkat hokum suprastruktur, dan sebagainya), pemerintah wajiblah untuk menjamin akselerasi  pembangunan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Hal ini sebenarnya telah digariskan dalam konstitusi di mana UUD 1945 sendiri menegaskan bahwa Pendidikan dan kesehatan dijamin oleh Negara dalam hal ini pemerintah sebagai  pelaksana tugas Negara.

Pergub no.28 , ke mana arahnya?

Kebijakan Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan baru-baru ini yang mengeluarkan pergub (peraturan gubernur) no.28 tahun 2010 yang salah satu poinnya (poin 23) mewajibkan koass (mahasiswa kedokteran yang sementara menjalani praktik magang di Rumah sakit), residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis) dan perawat/ bidan yang sedang praktik magang  unuk membayar retribusi tiap menjalani stase di rumah sakit milik pemerintah provinsi , tentu saja merupakan sebuah hal yang aneh dan tak berdasar.

Merupakan hal yang aneh, karena tanpa alasan yang jelas pemerintah provinsi Sulawesi Selatan mengeluarkan pergub ini. Kebijakan ini, terlepas dari dalih pemprov bahwa kebijakan ini bertujuan untuk  merapikan administrasi dan akuntabilitas keuangan di rumah sakit, menimbulkan pertanyaan besar bagi kita semua , bahwa bukankah pemerintah berkewajiban untuk mneyelenggarakan pendidikan yng berkualitas bagi segnap rakyatnya, bukannya malah “memeras”. Terlebih lagi bayaran rtribusi yang diminta bukanlah jumlah yang kecil untuk ukuran kantong mahasiswa Makassar, Koass diwajibkan membayar Rp. 60.000 per minggu, residen Rp.75.000 per minggu, dan mahasiswa keperawatan/kebidanan Rp.50.000 per minggu. Sebuah angka yang tidak sedikit tentu saja. Kebijakan ini juga jelas-jelas tak berdasar karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yaitu UU penyelenggaraan Rumah sakit yang jelas-jelas menggariskan bahwa fungsi Rumah sakit selain sebagai penyelenggara layanan kesehatan juga berfungsi menyelenggarakan pendidikan kesehatan.

Sebenarnya kerjasama antara institusi penyelenggara pendidikan kedokteran (di Makassar khususnya, dalam hal ini UNHAS dan UMI) dengan rumah sakit milik pemprov telah berlangsung puluhan tahun. Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, ribuan tenaga kesehatan telah dihasilkan, yang tentunya ujung-ujunganya sebagian besar dari lulusan-lulusan itu akan berkontribusi besar (baca:menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan) di Sulawesi selatan. Alangkah sebuah pikiran yang picik jika kerjasama bertahun-tahun itu yang telah menjadi tulang punggung bagi pelayanan kesehatan hingga sekarang dinodai dengan retribusi yang targetnya tak lbih dari mengejar PAD belaka.

Kisruh mengenai retribusi ini semakin diperparah oleh statement gubernur Sulsel di sebuah media local, bahwa wajar saja residen, koass dan perawat dimintai retribusi karena mereka mneggunakan rumah sakit untuk memperoleh pendidikan, makan dan tidur di Rumah sakit. Sebuah pernyataan yang sangat menyakitkan, terlebih lagi diucapkan oleh seorng kepala daerah.

Saya menganggap bahwa pernyataan ini keluar dari ketidak tahuan ggubernur kita akan realita di Rumah Sakit-Rumah Sakit milik pemprov (bebrapa teman dengan nada bercanda menyebut, mungkin karena gubernur kita terlalu sering berobat ke luar negeri hingga tak tahu realita yang terjadi di lapangan). Harus dipahami bahwa di rumah Sakit-Rumah Sakit milik pemprov di mkassar (RS Labuang Baji, RS Haji, RS ertiwi, RS Fatimah) ujung tombak pelayanan di Rumah sakit ada di tangan koass, residen dan perawat magang. Mereka memang menjalani pendidikan di sana, tapi harus diakui mereka juga berfungsi sebagai tenaga teknis pelayanan di rumah sakit (bahkan fungsi pelayanan seorang residen dan koass terasa lebih besar porsinya dibanding porsi pendidikannya).  Sementara dokter-dokter dan perawat yang dimiliki oleh pemprov, tak lebih dari 30% dari total tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Apatah lagi, residen dan koass, serta perawat magang di sana bekerja siang malam untuk melayani pasien di sana, bahkan harus menginap di Rumah Sakit untuk tugas jaga tanpa pernah digaji sepeser pun. Di daerah-daaerah lain, koass dan residen bahkan diberikan tip oleh Rumah Sakit tiap mereka berdinas di Rumah sakit tersebut, karena menganggap residen dan koass telah memberikan jasa pelayanan di Rumah Sakit.

Harusnya, pemerintah sadar bahwa di atas segalanya, menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau merupakan harga mati bagi pembangunan manusia Indonesia, Terlebih lagi pendidikan kesehatan. Karena tenaga-tenaga kesehatan terdidik inilah yang nantinya menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Kita tak mampu membayangkan jika kelak biaya pendidikan kesehatan makin mahal, maka lulusan-lulusan yang akan dihasilkan merupakan teaga kesehatan yang profit oriented (setela lulus dari pendidikan, orang akan cenderung berpikiran megembalikan modal yang telah dibayar selama pendidikan).

Ke mana arah kebijakan pemerintah hari ini?

Kisruh retribusi ini harusnya menjadi cerminan bagi kita semua, betapa pembangunan di sulsel hari ini berjalan tanpa arah. Di tengah  ruwetnya masalah pendidikan dan kesehatan di Sulsel (ingat, angka buta aksara dan tingkat penderita penyakit infeksi, Sulsel masih “berhasil” masuk lima besar). Adalah sebuah kesalahan besra jika kita kemudian mengorbankan pendidikan dan kesehatan di SulSel hanya untuk mnegejar PAD belaka.

Lebih miris lagi kemudian, ketika kita coba melihat arah pembangunan pemerintah provinsi selama 3 tahun belakangan yang cenderung mengutamakan program dan bangunan-bangunan simbolis yang milyaran bahkan trilyunan rupiah sementara pembangunan pendidikan dan kesehatan yang menjadi pilar utama pembangunan bangsa ini masih compang camping di sana sini.  Pembangunan CPI (central point of Indonesia), reklamasi tanjung Bunga, dan rogram-program  lain memang terkesan megah dan lux jika dilihat dari luar, akan tetapi bukankah pembangunan pendidikan dan kesehatan kita  jauh lebih  urgen untuk diselesaikan?

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

hidup bahagia bukanlah tujuan, tapi sebuahcara menjalani hidup

Saya tengah mengikuti pelatihan di sebuah lembaga training ketika pikiran ini terlintas di pikiran saya. Alkisah, sang trainer bertanya ke seorang peserta,”apa tujuan anda bekerja keras selama hidup anda?” peserta menjawab macam-macam. Ada yang bilang supaya dapat hidup kaya, ada yang bilang supaya dihormati, ada yang bilang supaya bisa sukses dan terkenal, ada yang bilang suapaya dapat pasangan yang baik (nahh lo?). Si trainer menutup sesi tanya jawab itu dengan kesimpulan bahwa tujuan kita semua hidup adalah untuk hidup bahagia. Benarkah?

Mari kita sejenak bicara tentang definisi kita mengenai kebahagiaan. kita semua pada dasarnya sama dengan para peserta seminar yang saya ceritakan tadi. Kita semua mendefinisikan kebahagiaan sebagai sebuah tujuan. Kita terlanjur percaya mitos bahwa kebahagiaan akan kita dapatkan suatu saat nanti. Misalnya seperti ini, anda menganggap bahwa kebahagiaan itu bisa diperoleh ketika anda kaya. Tapi, nyatanya ketika anda kaya, anda tidak juga kunjung puas, dan sekali lagi anda menganggap anda bisa bahagia, ketika anda lebih kaya lagi. Tapi, lagi-lagi anda tidak bahagia juga bukan?

Ketika kita menempatkan kebahagiaan itu sebagai sebuah tujuan, maka kita secara tidak langsung telah menempatkan kebahagiaan itu di tempat yang jauh. Sangat jauh. Bagi saya, bahagia adalah sebuah cara atau metode dalam menjalani hidup. Dan kita boleh memilih cara apapun untuk menjalani kehidupan kita. kita mau menjalani hidup ini dengan penuh kebahagiaan, kecemasan, atau dengan ketakutan, atau kemarahan, atau dengan cara apa pun itu terserah kita. Kitalah yang memilih. Hanya, tanpa disadari, selama ini kita telah memilih cara yang salah dalam menjalani kehidupan.

Memang, ketika kita berbicara kebahagiaan. maka kita semua akan terjebak pada perbedaan semantik dan semiotika makna kata. dan karena saya juga bukan ahli bahasa, maka saya lebih suka mengajak anda untuk bertanya, indikator kebahagiaan itu sebenarnya seperti apa?

Bagi saya pribadi, indikator kebahagiaan itu adalah ketika kita bisa menikmati apa yang sedang kita lakukan saat itu. Menikmati maksud saya adalah betul-betul merasakan dan mengerti apa yang sedang kita alami dan kita lakukan. dan untuk betul-betul mencapai sebuah kondisi atau keadaan yang namanya “menikmati” itu kita butuh satu hal. yaitu “kesadaran”. ya, di situlah kuncinya: kesadaran.

Saat, kita betul-betul menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita, maka di saat itulah kita mencapai kebahagiaan. Masalahnya adalah, selama ini kita menjalani hidup dengan penuh ketidaksadaran. Buktinya? mari kita lihat..

Saya membagi kesadaran menjadi kesadaran makro dan kesadaran mikro. Kesadaran makro adalah kemampuan kita untuk menyadari siapa diri kita, dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi. Kesadaran mikro adalah kesadaran dalam keseharian kita. Di sini kita menyadari sepenuhnya apa yang sedang kita lakukan, pikirkan, dan rasakan dalam suatu waktu tertentu.

Kita tak akan bisa pernah bisa hidup dengan bahagia, jika kita tak mampu pertanyaan-pertanyaan penting mengenai siapa diri kita dan ke mana kita menuju. begitu pula kita tak akan pernah menikmati kehidupan kita jika kita tak benar-benar menyadari apa yang sedang kita lakukan.

Bagi saya, hidup bahagia adalah sebuah cara menjalani hidup. Dan kesadaran adalah kuncinya.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Menjalani hidup denganpenuh kesadaran

Menjalani hidup dengan penuh kesadaran mungkin terdengar mudah. jangan salah, menjalani kehidupan kita dengan sadar bukan perkara remeh. Kualitas kehidupan kita ditentukan oleh kesadaran kita dalam melakukan segala sesuatu. masalahnya, hampir semua orang menjalani hidup tidak dengan kesadaran penuh. Mungkin kita akan keberatan dan mengatakan, ”Tidak mungkin, saya selalu sadar setiap saat. Saya melakukan segala sesuatu dengan penuh kesadaran.”. Tapi benarkah begitu? Mari kita lihat.

Ada dua jenis kesadaran, kesadaran makro dan kesadaran mikro. Kesadaran makro adalah kemampuan untuk menyadarii siapa diri kita, dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup dan kemana kita akan pergi.

Pernahkah kita benar-benar mencoba menanyakan pertanyaan ini ke diri kita masing-masing? Ketika kita tak mampu menjawabnya, maka kita akan diliputi kegelisahan. Kesadaran makro inilah yang nantinya akan menjadi petunjuk bagi segala ideologi, cara berpikir, pedoman tingkah laku, dan sistem nilai yang kita anut. Ketika kita tak punya kesadaran makro ini maka kita seperti berjalan dengan menutup mata. Kita kebingungan. Dan inilah salah satu penyebab penyebab ketidakbahagiaan kita.

Kesadaran mikro adalah kesadaran dalam keseharian kita. Di sini kita menyadari sepenuhnya apa yang sedang kita lakukan, pikirkan, dan rasakan.

Banyak permasalahan yang kita hadapi terjadi semata-mata karena kurangnya kesadaran pada saat kita melakukannya. Apa anda pernah bercanda kelewat batas? Apakah anda pernah keseleo bicara tentang sesuatu yang tidak sepantasnya?. Pernah bukan? Ini menunjukkan kita sangat sering kehilangan kendali kesadaran atas apa yang kita lakukan. Kita baru sadar telah bercanda tidak pada tempatnya begitu ada kawan yang merasa terluka, Kita baru sadar telah bertindak kasar setelah orang lain sakit hati. Kita baru sadar telah berbohong setelah hal itu menimbulkan masalah.

Ada dua penyebabnya. Pertama, kita sering melakukan sesuatu secara otomatis. Saking rutinnya hal tersebut, kita melakukannya tanpa berpikir. Kita menjadi terbiasa melakukan segala hal secara otomatis tanpa berpikir, tapa penghayatan. Kita hanya bergerak seperti robot. coba anda ingat, saat tadi kita masuk ke ruang kuliah, yang lebih dulu masuk ruangan itu kaki kanan atau kaki kiri? kita tak ingat bukan? Itu tandanya kita telah betul-betul kehilangan kesadaran kita atas apa yang kita lakukan karena saking rutin dan terprogramnya kegiatan-kegiatan kita

Kedua, kita tidak menyadari perasaan apa yang muncul dalam diri kita setiap saat. Padahal perasaan inilah yang mendorong kita untuk melakukan berbagai tindakan. Menyadari perasaan yang muncul setiap waktu merupakan kunci mempertahankan kesadaran mikro kita. Kita mestinya mampu mengenali dan mendefinisikan berbagai macam perasaan yang datang silih berganti. Begitu kita marah, kita sadar bahwa kita sedang marah. Begitu kita takut, kita sadar bahwa kita sedang takut. Begitu kita sedang tergoda, apakah oleh uang, kekuasaan, jabatan maupun wanita, kita sadar bahwa kita sedang dalam kondisi tergoda. IItulah yang saya sebut dengan kesadaran yang tepat waktu. Dengan demikian kita dapat membunuh ”monsternya” selagi ia masih kecil.

Salah satu ukuran kemajuan spiritual kita adalah sejauh mana kita dapat menjaga kesadaran kita setiap saat. Inilah yang disebut mindfullness yaitu hidup dalam kesadaran dan keterjagaan pikiran. Mindfulness membuat kita lebih fokus. Ini membantu kita memberikan perhatian pada apa yang tengah kita kerjakan persis pada saat kita mengerjakannya. Memberikan perhatian membuat kita hidup di dalamnya, serta menikmati dan mengapresiasi saat ini dalam semua kekayaan dan kedalamannya. Ini membantu kita benar-benar melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi

Mengapa para sufi pergi bertapa? karena dengan bertapa mereka dapat merenung dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan makro sekaligus berlatih untuk menyadari setiap gerakan dari tubuh mereka. Mengapa banyak orang datang ke klinik meditasi? karena dengan meditasi, kita melatih kesadaran kita atas tubuh dan pikiran kita. melatih kita untuk merasakan setiap helaan nafas kita. Apa inti dari olahraga yoga? Juga kesadaran. Kesadaran untuk menikmati setiap irama gerakan tubuh.

Tapi rasanya, kita tak perlu jauh-jauh pergi bertapa untuk melatih kesadaran kita. Latihan-latihan kecil untuk mengasah kesadaran kita dapat dilakukan di mana saja. Cobalah, mulai sekarang kita belajar untuk merasakan setiap gerakan tubuh kita. Merasakan setiap helaan nafas kita. rasakan pemandangan di sepanjang jalan yang kita lalui ketika ke kampus. Dan rasakan ketenangan meliputi hari-hari kita. Selamat mencoba.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Tiap masuk blok baru

hmmm… perasaan seperti ini selalu saja datang tiap masuk blok baru. Perasaan menyesal, merasa bersalah, yang biasanya ditutup dengan tekad mantap untuk berubah. Setiap masuk blok mata kuliah baru, pasti dalam hati timbul rasa menyesal karena tidak serius mengikuti satu mata kuliah. Ditambah dengan rasa tertekan akan hasil ujian yang jeblok, tekanan akibat pesan-pesan orang tua, membuat setiap sistem baru kita seperti ingin betul-btul berubah.

Nyatanya setelah masuk blok baru, kita sama sekali tak berubah. Tetap bangun jam delapan pagi, habis itu nonton avatar atw kuis siapa berani, makan, berangkat ke kampus jam sebelas. sampai di kampus tidak langsung masuk ke kelas, tapi langsung stand by di SC. mumpung kalo sempat masuk satu kuliah dalam satu hari.

memang sih, jadwal belajar telah dibuat. Tapi, entah kenapa, hidup begitu sangat susah diatur. Kehidupan berjalan begitu bandel dan susah dikendalikan. Kadang-kadang dalam beberapa malam, saya merenung dan menyusun jadwal kembali. Tapi, begitulah, kehidupan tetap berjalan dengan caranya sendiri.

Sampai sekarang saya masih mencoba untuk bisa mngendalikan hidup. Mungkin, hidup itu seperti kuda ya? Keliarannya menunjukkan kualitasnya. hmmm… masalahnya jokinya belum begitu mahir mengendalikan.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

HmI, Back To Basic

Bagaimana HMI saat ini?, pertanyaan ini sudah menjadi trademark bagi organisasi mahasiswa Islam terbesar ini untuk peran selanjutnya. Siapa yang tidak kenal dengan HMI yang mempunyai kiprah besar terhadap tegaknya bangsa ini. Tapi juga ada tuduhan, bahwa HMI pun turut andil dalam kebobrokan para politisi yang notabene alumni HMI.

Tidak ada kata lain yang bisa dijadikan patokan bagi HMI, kecuali back to basic. Yaitu kembali pada Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang ‘bernafaskan Islam’ dan bertanggung jawab atas terselenggaranya negara adil makmur yang diridhai Allah SWT. Hanya ini yang harus dijadikan tolok ukur eksistensi HMI. Lain dari itu, tidak ada.

Kalau kata Fachri Ali, dia menyebutkan “Dulu HMI adalah organisasi intelektual yang mencetak kader-kader technocrat dan merupakan idola tiap anak muda terpelajar, serta curiga dengan politisi yang cenderung manipulatif dan bohong melalui kemampuan berpidato. Sedangkan hari ini HMI adalah pencetak para kader politisi yang dulu dicurigai oleh HMI itu sendiri. Saya berkeyakinan 10 tahun kedepan rakyat kian bosan dengan politik, bosan dimanipulasi dan bosan dibohongi. Oleh karenanya 60 tahun HMI kini, jika dia ingin tetap Berjaya, maka mencetak kader-kader intelektual (technocrat) adalah sebuah keharusan, karena bangsa ini akan bersiap melakukan substitusi kepemimpinan politik dengan kepemimpinan technocrat. Membaca dan menulislah, karena itu yang akan membuat anda dewasa secara intelektual.” (sumber : http://pbhmi.com). Nah… sekarang, apa yang dimiliki dan yang bisa ditonjolkan oleh si-‘Hitam Hijau’ ini?.

Mungkin, ini mungkin saja, saat ini telah terjadi degradasi kaderisasi di tubuh HMI sendiri. Entah apa sebabnya. Bisa jadi juga tanggungjawab para rakanda alumninya yang terus menerus meng’kooptasi’ adik-adiknya di HMI. Demi kepentingan para rakandanya, adik-adiknya diobok-obok. Dan yang paling penting, bagi HMI-nya sendiri harus mulai sadar bahwa HMI bukan milik alumni, tapi milik anggota. Sehingga maju-mundurnya organisasi ini tergantung bagaimana sikap anggotanya. Jika anggotanya mau di’mainkan’ oleh para rakandanya, maka sudah jelas bahwa HMI sedang menggali liang lahatnya sendiri.

HMI adalah HMI, bukan HMI adalah juga Alumni HMI. Paradigma ini jelas berbeda. Karena akan bermuara pada hilangnya sikap independen. Tanpa sikap independen ini, maka tidak ada HMI. Dan menjadi wajar jika kemudian ada pertanyaan ‘Bagaimana HMI saat ini?’. Bukan berarti anti kepada Alumni HMI. Akan tetapi bersikap proporsional. Bahwa Alumni HMI merupakan wadah silturrahmi dan komunikasi antar komunitas keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam. Tidak lebih. Apalagi kemudian ada transaksi, deal-deal politis yang bakal berdampak pada proses perbaikan institusi.

HMI akan terbawa-bawa dalam berbagai proses politik yang terjadi. Akan sangat membanggakan jika ternyata proses politik itu membawa dampak positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi sebaliknya, institusi HMI akan terbawa buruk dan rusak karena tingkah laku para alumninya yang tidak patut dan tidak layak, apalagi bagi para alumninya yang terlibat unsur-unsur KKN. Jelas-jelas ini merusak dan menghancurkan. Bukan saja HMI tapi juga bangsa dan negara secara keseluruhan.

Oleh karenanya, dengan ucapan bismillah…HMI harus back to basic. Yakin Usaha Sampai.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

masyarakat yang teralienasi

Masyarakat dunia ketiga hari ini berada pada sebuah zaman yang mengalami disorientasi makna hidup. Makna hidup yang seharusnya menajdi pondasi baik secara ideologis maupun praktis seluruh pergerakan sosial tidak ada lagi.

Percepatan perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesat (pada masyarakat dunia ketiga, akselerasi percepatannya tidak seimbang dengan proses adaptasi dan persiapan struktur mental masyarakat, baik struktur dan mentalitas kultural, struktur dan mentalitas emosi, maupun struktur dan mentalitas inteleknya) tidak ditopang dan diwadahi oleh paradigma dan mentalitas yang sejenis. Sehingga, daya kritis masyarakat terhadap budaya yang masuk khususnya sains dan teknomologi barat modern sangat lemah. Karena tidak tersedianya wadah yang bisa menopangnya, maka struktur dan mentalitas kebudayaan barat modern diadaptasi tanpa mengalami kritik dan penyaringan yang berarti. Agamawan yang melihat fenomena tersebut hanya bisa memberikan fatwa dogmatis, tanpa bisa memberika jalan keluar yang berarti. Ketika itu, masyarakat muda modern di dunia ketiga (khususnya di Indonesia) mengalami kompleksitas ketersekatan budaya, baik dari budayanya sendiri maupun dari kebudayaan barat modern, karena meraka hanya pemakai (konsumen) pasif kebudayaan barat, tanpa memiliki dan mengalami proses internalisasi dengan kebudayan modern tersebut.

Kondisi inilah yang sesungguh-sungguhnya kondisi individu (masyarakat) yang teralienasi dari dirinya sendiri, baik secara internal maupun eksternal. Maka wajar bila kehidupan merak tidak lagi memiliki makna atau nilai yang bisa dibanggakan, mereka mengalami anomi absolut. Maka, muncullah fenomena sosial yang memiliki kecenderungan “pesimistik”. Rasa prustasi dalam menjalani kehidupan, dan underestimate terhadap budaya lokal. Lebih dari itu, didukung oleh kondisi real bangsa Indonesia yang sedang mengalami kolep, muncul pula ketidak percayaan pada pemerintah, sistem sosial, dan lain sebagainya. Tidak ada lagi yang bisa ia percayai, hatta dirinya sendiri. Maka kolusi terjadi di berbagai sudut kehidupan masyarakat.

Sikap pesimistik, rasa prustasi, dan sikap underestimate, kehilangan kepercayaan telah melahirkan kecenderungan anarkis. Muncullah anggapan, tidak ada sistem bahkan hukum yang bisa menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat (negara), termasuk masalah yang dihadapinya, kecuali melalui proses kekerasan, anarkisme.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

1 Komentar

Filed under Uncategorized